Studi Konsistensi Guru Dalam Menerapkan Model Pembelajaran Pada Mata Pelajaran Biologi Di SMA Negeri Sekota Jambi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan perwujudan dari salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia, yaitu ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Saat ini bidang pendidikan merupakan salah satu bidang pambangunan yang dapat parhatian serius dari pemerintah. Dengan memahami tujuan pendidikan maka tercermin bahwa pendidikan merupakan factor yang sangat strategis sebagai dasar pembangunan bangsa. Sejalan dengan itu apabila dihubungkan dengan ekstensi dan hakaikat hidup manusia, kegiatan pendidikan diarahkan pada manusia sebagai mahluk individu, sosial, dan religius.
Menurut Shertian (2000) pendidikan merupakan usaha sadar yang dengan sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidiakn bertujuan untuk menngkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan salah satu usahanya adalah melaui suatu proses pembelajaran di sekolah. Dalam usaha tersebut, guru merupakan sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan secara terus menerus.
Sekarang ini masalah pendidiakn menghadapi berbagai masalah salah satunya adalah rendahnya kualitas hasil pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan. Hal ini tercermin dari masih relative rendahnya nilai rata-rata ujian nasional (UN) yang dicapai siswa khususnya pada mata pelajaran biologi. Rendahnya mutu pandidiakn di indonesia, banyak opini yang muncul baik datangya dari pejabat, pakar dan praktisi pendidikan ataupun masyarakat antara lain, kurangnya kualitas tenaga pengajar, gaji guru yang rendah, muatan kurikulum terlalu padat dan pola pembelajaran yang kurang menarik.
Kurang optimalnya pelaksanaan sistem pendidikan (yang sebenarnya sudah cukup baik) di Indonesia yang disebabkan sulitnya menyediakan guru-guru berkompetensi untuk mengajar di daerah-daerah. Sebenarnya kurikulum Indonesia tidak kalah dari kurikulum di negara maju, tetapi pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal. Kurang sadarnya masyarakat mengenai betapa pentingnya pendidikan dalam membentuk generasi mendatang sehingga profesi ini tidak begitu dihargai.
Sistem pendidikan yang sering berganti-ganti, bukanlah masalah utama, yang menjadi masalah utama adalah pelaksanaan di lapangan, kurang optimal. Terbatasnya fasilitas untuk pembelajaran baik bagi pengajar dan yang belajar. Hal ini terkait terbatasnya dana pendidikan yang disediakan pemerintah.
Banyak sekali kegiatan yang dilakukan depdiknas untuk meningkatkan kompetensi guru, tetapi tindak lanjut yang tidak membuahkan hasil dari kegiatan semacam penataran, sosialisasi. Jadi terkesan yang penting kegiatan itu terlaksana selanjutnya, tanpa memperhatikan manfaat yang dapat diperoleh.
Jika kondisi semacam itu tidak diubah untuk dibenahi kecil harapan pendidikan bisa lebih maju/baik. Maka pendidikan Indonesia sulit untuk maju. Selama ini kesan kuat bahwa pendidikan yg berkualitas mesti bermodal/berbiaya besar. Tapi oleh pemerintah itu tidak ditanggapi, kita lihat saja anggaran pendidikan dalam APBN itu. Padahal semua tahu bahwa pendidikan akan membaik jika gurunya berkompetensi dan cukup dana untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran.
Pendidikan biologi merupakan bagian dari pendidikan sains dan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah yang diharapkan dapat mencapai tujuan pendidiakn nasional yang ada. Biologi merupakan wahana untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, keterampilan sikap serta bertanggung jawab kepada lingkungan. Biologi berkaitan dengan cara mencari tahu dan memahami alam dan mahluk hidup secara sistematis sehingga pembelajaran biologi bukan hanya penguasaan kumpulan-kumpulan fakta tetapi juga proses penemuan.
Namun pada kenyataan yang ada dalam pendidikan biologi belum adanya peningkatan mutu pendidikan. Masalah-masalah pembelajaran sain atau biologi diantaranya adalah: pengajaran sain sang hanya mencurahkan pengetahuan (tidak berdasarkan praktek). Dalam hal ini fakta, konsep, dan prisip sains lebih banyak dicurahkan melalui ceramah, Tanya jawab, atau diskusi tanpa didasarkan pada hasil kerja praktek. Variasi kegiatan belajar mengajar (KBM) sangat sedikit. Pada saat ini, guru hanya mengajar dengan ceramah dikombinasikan dengan media dan siswa tidak terlibat aktif dalam pembelajaran.
Berdasarkan pemantauan penulis di SMA N di kota jambi sebagian besar siswa mengalami kesiulitan dalam belajar biologi. Kondisi seperti ini menyebabkan siswa kebanyakan diam (pasif), kurang aktif dalam bertanya maupun dalam menjawab pertanyaan dalam proses belajar mengajar. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan metode pambalajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar. Keterlibatan secara aktif tersebut mencakup keterlibatan fisik maupun intelektual emosional (Dimyati dan Mujiono, 2006)
Tetapi dalam kenyataanya selama ini guru masih belum maksimal dalam melakukan pengolaan pembelajaran dengan baik, hal ini dapat dilihat banyak guru hanya mengajar dengan menyampaikan materi kepada siswa saja, sehingga proses belajar mengajar hanya didominasi oleh guru sehinnga siswa bertindak pasif dalam belajar. Kesulitan yang dialami siswa tidak lain kurangnya konsep dan guru belum sempurna dalam menerapkan pengolaan kegiatan pembelajaran.
Untuk itu diperlukan suatu pengolaan pembelajaran melalui penerapan dengan model yang sesuai yang dapat mengaktifkan siswa dalam belajar. Guru harus biasa memilih model yang tepat dan sesuai dengan materi pembelajaran untuk diterapkan di kelas. Hal ini juga harus didukung dengan konsistensi guru dalam menerapkan model yang ia pilih dan sesuai dengan RPP yang ia susun.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Studi Konsistensi Guru Dalam Menerapkan Model Pembelajaran Pada Mata Pelajaran Biologi Di SMA Negeri Sekota Jambi”

1.2 Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka peneliti mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Apakah rendahnya mutu pendidiakan, salah satunya diakibatkan kurangnya konsep dan guru belum sempurna dalam menerapkan pengolaan kegiatan pembelajaran?
2. Sejauh mana kekonsistensisan guru dalam menerapkan model pembelajaran yang terdapat pada RPP yang ia bua

1.3 Keterbatasan Masalah
Agar penelitian terarah dan dapat mencapai sasaran maka perlu adanya batasan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Penelitian ditekankan pada kinerja guru dalam menerapkan model pembelajaran yang ada dalam RPP yang ia buat
2. Penelitin ini dilaksanakan pada pelajaran biologi
3. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri sekota jambi pada kelas XI semester 1
4. Pengamatan hanya dilakukan pada guru-guru biologi di kota jambi

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah para guru biologi sekota jambi sudah konsisten dalam menerapkan model pembelajaran yang ada di RPP yang ia buat?
2. Sejauh mana kekonsistensisan guru dalam menerapkan model pembelajaran yang ia buat di RPP?


1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang diteliti maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk melihat apakah guru biologi sekota jambi sudah konsisten dalam menerapkan model pembelajaran yang terdapat di RPP yang ia buat
2. Untuk mengetahui sejauh mana kekonsistensisan guru dalam menerapkan model pembelajaran di SMA Negeri di kota jambi

1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
Sebagai bahan evaluasi bagi guru dan kepala sekolah dan dinas terkait dalam meningkatkan mutu pendidikan, salah satunya adalah dengan konsistensinya guru dalam menerapkan model pembelajaran yang terdapat di RPP yang ia buat.

1.6 Asumsi Penelitian
1. Setiap guru memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama dalam menerpkan model pembelajaran pada mata pelajaran biologi.
2. Pada penelitian ini diasumaikan bahwa kekonsistensisan guru dalam menerapkan model pembelajaran dapat meingkatkan hasil belajar biologi siswa.

1.7 Ruang Lingkup Penelitian
Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian maka, ruang lingkup penelian ini hanya pada SMA Negeri sekota jambi.

1.8 Definisi Operasional
Agar pembaca mudah memahami hasil penelitian ini maka peneliti mencantumkan definesi operasional sebagai berikut:
Guru
Guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru secara maksimal
Model pembelajaran
Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Belajar Dan Mengajar
2.1.1 Belajar
Menurut Gagne (1984:dalam Rusfidra,2006) belajar didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman. Galloway dalam Toeti Soekamto (1992: 27 dalam Rusfidra,2006) mengatakan belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan faktor-faktor lain berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sedangkan Morgan menyebutkan bahwa suatu kegiatan dikatakan belajar apabila memiliki tiga ciri-ciri sebagai berikut.
1. belajar adalah perubahan tingkahlaku;
2. perubahan terjadi karena latihan dan pengalaman, bukan karena pertumbuhan;
3. perubahan tersebut harus bersifat permanen dan tetap ada untuk waktu yang cukup lama.
Berbicara tentang belajar pada dasarnya berbicara tentang bagaimana tingkahlaku seseorang berubah sebagai akibat pengalaman (Snelbeker 1974 dalam Toeti 1992:10) Dari pengertian di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa agar terjadi proses belajar atau terjadinya perubahan tingkahlaku sebelum kegiatan belajar mengajar dikelas seorang guru perlu menyiapkan atau merencanakan berbagai pengalaman belajar yang akan diberikan pada siswa dan pengalaman belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Proses belajar itu terjadi secara internal dan bersifat pribadi dalam diri siswa, agar proses belajar tersebut mengarah pada tercapainya tujuan dalam kurikulum maka guru harus merencanakan dengan seksama dan sistematis berbagai pengalaman belajar yang memungkinkan perubahan tingkahlaku siswa sesuai dengan apa yang diharapkan. Aktifitas guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses belajar siswa berlangsung optimal disebut dengan kegiatan pembelajaran.
Dengan kata lain pembelajaran adalah proses membuat orang belajar. Guru bertugas membantu orang belajar dengan cara memanipulasi lingkungan sehingga siswa dapat belajar dengan mudah, artinya guru harus mengadakan pemilihan terhadap berbagai starategi pembelajaran yang ada, yang paling memungkinkan proses belajar siswa berlangsung optimal. Dalam pembelajaran proses belajar tersebut terjadi secara bertujuan ( Arief Sukadi 1984:8 dalam Rusfidra,2006) dan terkontrol.
Tujuan -tujuan pembelajaran telah dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku. Peran guru disini adalah sebagai pengelola proses belajar mengajar tersebut.
Dalam sistem pendidikan kita (UU. No. 2 Tahun 1989), seorang guru tidak saja dituntut sebagai pengajar yang bertugas menyampaikan materi pelajaran tertentu tetapi juga harus dapat berperan sebagai pendidik. Davies mengatakan untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik seorang guru perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman berbagai prinsip-prinsip belajar, khususnyai prinsip berikut:
1. Apapun yang dipelajari siswa , maka siswalah yang harus belajar, bukan orang lain. Untuk itu siswalah yang harus bertindak aktif;
2. Setiap mahasiswa akan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya;
3. Seorang siswa akan belajar lebih baik apabila mempengoreh penguatan langsung pada setiap langkah yang dilakukan selama proses belajarnya terjadi
4. Penguasaan yang sempurna dari setiap langkah yang dilakukan mahasiswa akan membuat proses belajar lebih berarti; dan
5. Seorang siswa akan lebih meningkat lagi motivasinya untuk belajar apabula ia diberi tangungjawab serta kepercayaan penuh atas belajarnya (Davies 1971 dalam Rusfidra,2006).
2.1.2 Belajar, Mengajar dan Pembelajaran
Istilah pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Belajar, mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam kelas.
Duffy dan Roehler 1989 (dalam Arianto Sam.2008) mengatakan apa yang dilakukan guru agar proses belajar mengajar berjalan lancar, bermoral dan membuat siswa merasa nyaman merupakan bagian dari aktivitas mengajar, juga secara khusus mencoba dan berusaha untuk mengimplementasikan kurikulum dalam kelas. Sementara itu pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum.
Jadi pembelajaran adalah suatu aktivitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan yaitu tercapainya tujuan kurikulum. Dalam buku pedoman melaksanakan kurikulum SD,SLTP dan SMU (1994 dalam Arianto Sam.2008) istilah belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku setelah terjadinya interaksi dengan sumber belajar. Sumber belajar tersebut dapat berupa buku, lingkungan, guru dll. Selama ini Gredler 1986 (dalam Arianto Sam.2008) menegaskan bahwa proses perubahan sikap dan tingkahlaku itu pada dasarnya berlangsung pada suatu lingkungan buatan (eksperimental) dan sangat sedikit sekali bergantung pada situasi alami (kenyataan).
Oleh karena itu lingjungan belajar yang mendukung dapat diciptakan, agar proses belajar ini dapat berlangsung optimal. Dikatakan pula bahwa proses menciptakan lingkungan belajar sedemikian rupa disebut dengan pembelajaran. Belajar mungkin saja terjadi tanpa pembelajaran, namun pengaruh suatu pembelajaran dalam belajar hasilnya lebih sering menguntungkan dan biasanya mudah diamati. Mengajar diartikan dengan suatu keadaan untuk menciptakan situasi yang mampu merangsang siswa untuk belajar. Situasi ini tidak harus berupa transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa saja tetapi dapat dengan cara lain misalnya belajar melalui media pembelajaran yang sudah disiapkan.
(Gagne dan Briggs 1979:3 dalam Rusfidra,2006) mengartikan instruction atau pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Sepintas pengertian mengajar hampir sama dengan pembelajaran namun pada dasarnya berbeda. Dalam pembelajaran kondisi atau situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh perancang atau guru. Sementara itu dalam keseharian di sekolah-sekolah istilah pembelajaran atau proses pembelajaran sering dipahami sama dengan proses belajar mengajar dimana di dalamnya ada interaksi guru dan siswa dan antara sesama siswa untuk mencapai suatu tujuan yaitu terjadinya perubahan sikap dan tingkahlaku siswa. Apa yang dipahami guru ini sesuai dengan pengertian yang diuraikan dalam buku pedoman kurikulum (1994:3) Sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakat yang memberinya masukan maupun menerima keluaran tersebut. Pembelajaran mengubah masukan yang berupa siswa yang belum terdidik menjadi siswa yang terdidik.
Fungsi sistem pembelajaran ada tiga yaitu fungsi belajar, fungsi pembelajaran dan fungsi penilaian. Fungsi belajar dilakukan oleh komponen siswa, fungsi pembelajaran dan penilaian yang terbagi dalam pengelolaan belajar dan sumber-sumber belajar) dilakukan oleh sesuatu di luar diri siswa (Arief,S. 1984:10 dalam Rusfidra,2006). Sebenarnya belajar dapat saja terjadi tanpa pembelajaran namun hasil belajar akan tampak jelas dari suatu pembelajaran. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan berlangsungnya proses belajar dalam diri siswa. Seseorang dikatakan telah mengalami proses belajar apabila dalam dirinya terjadi perubahan tingkah laku dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa dan sebagainya.
Dalam pembelajaran hasil belajar dapat dilihat langsung, oleh karena itu agar kemampuan siswa dapat dikontrol dan berkembang semaksimal mungkin dalam proses belajar di kelas maka program pembelajaran tersebut harus dirancang terlebih dahulu oleh para guru dengan memperhatikan berbagai prinsip-prinsip pembelajaran yang telah diuji keunggulannya.(Arief. Sukadi, 1991;12 dalam Rusfidra,2006)
2.2 Guru
Guru merupakan komponen penting dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru yang berkualitas, profesional dan berpengetahuan, tidak hanya berprofesi sebagai pengajar, namun juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dalam menjalankan fungsinya sebagai agen pembelajaran, guru harus memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional. Selain itu, berdasarkan Standar Nasional Pendidikan, setiap guru harus memiliki kualifikasi pendidikan sarjana satu atau diploma IV. Guru merupakan faktor determinan dalam revitalisasi pendidikan nasional. Guru adalah motivator, fasilitator sekaligus ilmuwan.
Guru merupakan Tingkatan keahlian dari seorang hacker. Istilah ini digunakan pada seseorang yang mengetahui semua hal pada bidangnya, bahkan yang tidak terdokumentasi. Ia mengembangkan trik-trik tersendiri melampaui batasan yang diperlukan. Kalau bidangnya berkaitan dengan aplikasi, ia tahu lebih banyak daripada pembuat aplikasi tersebut.
Guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru secara maksimal
Secara umum ada dua Sikap dan pandangan guru tentang mengajar, yaitu :
(1) Guru pemegang peran utama dalam mengajar
Pandangan yang demikian akan berefek, sbb. :
(a) Pembelajaran terpusat pada guru ( teacher oriented )
(b) Metode pemberitahuan lebih dominan
(c) Hafalan lebih ditekankan dan kreativitas serta inisiatif anak kurang
(2) Guru berperan dalam merangsang anak dalam belajar dan berfikir serta menentukan alternatif pemecahan sendiri terhadap masalah yang ia hadapi.
Pandangan yang demikian akan berefek, sbb. :
(a) Child oriented
(b) Guru hanya sebagai pembantu/ pembimbing
(c) Metode mengarah pada penemuan; pemecahan masalah
(d) Aktivitas anak memecahkan masalah , berfikir sendiri terhadap masalah yang dihadapi tinggi.
Ciri Guru Yang Baik
Menurut S Nasution, ada beberapa prinsip umum guru yang baik yang disarikan sebagai berikut :
a) Memahami dan menghormati murid
b) Menghormati ( menguasai bahan sepenuhnya ) bahan yang diberikan
c) Mampu menyesuaikan metode dengan bahan
d) Mampu menyesuaikan bahan dengan kesanggupan anak
e) Mampu mengaktifkan anak dalam belajar
f) Mampu memberikan pengertian bukan hanya dengan kata-kata belaka
g) Merumuskan tujuan yang akan dicapai setiap pelajaran yang diberikan
h) Tidak terikat hanya pada satu teks book saja
i) Tidak hanya mengajar tapi membentuk kepribadian anak
Guru merupakan komponen penting dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru yang berkualitas, profesional dan berpengetahuan, tidak hanya berprofesi sebagai pengajar, namun juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dalam menjalankan fungsinya sebagai agen pembelajaran, guru harus memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional. Selain itu, berdasarkan Standar Nasional Pendidikan, setiap guru harus memiliki kualifikasi pendidikan sarjana satu atau diploma IV. Guru merupakan faktor determinan dalam revitalisasi pendidikan nasional. Guru adalah motivator, fasilitator sekaligus ilmuwan.
Upaya peningkatan kualifikasi guru dapat dilakukan di perguruan tinggi. Secara umum metode penyampaian materi ajar di pendidikan tinggi dilakukan dalam dua bentuk, yaitu pendidikan tinggi tatap muka (konvensional) dan pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ). Ciri utama PTJJ adalah terpisahnnya dosen dan mahasiswa karena faktor jarak. Sebagian besar komunikasi antara dosen dan mahasiswa dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail. Sistem PTJJ merupakan salah satu solusi mengatasi kesenjangan antara keterbatasan sumber daya pendidikan dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi.
Untuk meningkatkan kompetensi guru IPA yang cerdas dan berpengetahuan agaknya model pembelajararan jarak jauh dapat dijadikan sebagai sebuah solusi meningkatkan kualifikasi pendidikan guru ketika daya tampung sistem pendidikan tatap muka sangat terbatas.
“Bangsa yang maju adalah bangsa yang baik pendidikannya; bangsa yang jelek pendidikannya tidak akan pernah menjadi bangsa yang maju”.
---Presiden Susilo Bambang Yudhoyono---

Salah satu komponen penting dalam upaya meningkatkaan mutu pendidikan nasional adalah adanya guru yang berkualitas, profesional dan berpengetahuan. Guru, tidak hanya sebagai pengajar, namun guru juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dalam menjalankan tugasnya sebagai agen pembelajaran, maka guru diharapkan memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional. Menurut Zamroni 2006 (dalam Arianto Sam.2008), guru yang profesional adalah guru yang menguasai materi pembelajaran, menguasai kelas dan mengendalikan perilaku anak didik, menjadi teladan, membangun kebersamaan, menghidupkan suasana belajar dan menjadi manusia pembelajar (learning person).
Selain sebagai sebuah profesi, seorang guru adalah motivator dan fasilitator dalam transformasi IPTEK pada anak didik. Oleh karena itu, guru pada abad ke XXI adalah seorang saintis yang menguasai ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Sebagai ilmuwan, guru tergolong elit intelektual. Guru bukanlah profesi kelas dua. Sebab itu, calon guru sebaiknya adalah insan terpilih untuk jabatan profesi mulia.
Menurut Rustaman 2006 (dalam Arianto Sam.2008) profesi guru adalah profesi “saintis plus” yang harus menguasai IPTEK dan mampu sebagai motivator dan fasilitator. Sebagai motivator dan fasilitator proses belajar, guru adalah seorang komunikator ulung karena ia harus mampu memberi jiwa terhadap informasi yang diberikan oleh saran komunikasi yang super canggih.
Pasca pemberlakuan UU Guru dan Dosen, guru yang mengajar di pendidikan dasar dan pendidikan menengah disyaratkan memiliki kualifikasi pendidikan sarjana (S-1) atau diploma IV (D-IV). Karena itu, guru yang belum berkualifikasi sarjana diberikan kesempatan mencapai kualifikasi minimal tersebut dalam waktu 10 tahun. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2004) guru SMA yang berkualifikasi sarjana baru 72,75 persen; guru SMK 62,16 persen; SMP 42,03 persen; SD 8,30 persen dan TK 3,88 persen. Sisanya sekitar 1,9 juta orang belum berkualifikasi sarjana. Semakin tinggi kualitas guru diharapkan kualitas pendidikan nasional akan meningkat. Faktanya, hingga kini kualitas pendidikan masih sangat rendah. Menurut Shanghai Jiaotong University (2005) tak satupun perguruan tinggi di Indonesia yang masuk rangking dalam 100 perguruan tinggi terbaik di Asia dan Australia.
Pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Semakin terdidik suatu masyarakat semakin besar peluang memiliki SDM yang berkualitas. Semakin tinggi kualitas SDM, semakin besar kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kuatnya kaitan antara pendidikan dengan SDM dalam mengukur keberhasilan pembangunan SDM suatu negara diperlihatkan oleh United Nation Development Program (UNDP).
Meningkatnya keinginan masyarakat untuk mengikuti pendidikan tinggi ternyata tidak diikuti oleh tersedianya insfrastruktur pendidikan tinggi yang memadai. Sebagai misal, Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2005 hanya dapat menampung 84.443 orang peserta di 53 PTN dari 304.922 peserta SPMB pada tahun tersebut. Sementara itu, berdasarkan hasil Ujian Nasional (UN) tahun 2006 yang diumumkan beberapa waktu lalu, UN 2006 berhasil meluluskan 1.790.881 siswa (Rusfidra, 2006b).
Dalam kondisi tersebut, perlu dicari alternatif lain seperti menerapkan pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ) untuk menyediakan kesempatan belajar yang lebih murah dan pemerataan kesempatan belajar di pendidikan tinggi. Gagasan tentang universitas terbuka dan PTJJ, virtual university, e-learning, open learning, flexible learning dan home schooling menjadi komponen penting dalam strategi nasional dan global untuk mendidik mahasiswa dalam jumlah besar.
Ditinjau dari metode penyampaian materi ajar dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi, dikenal dua model pendidikan, yaitu model pendidikan tinggi tatap muka (konvensional) dan PTJJ. Berbeda dengan pendidikan tatap muka, pada PTJJ, dosen dan mahasiswa dibatasi oleh jarak karena faktor geografis. Komunikasi antara dosen dan mahasiswa lebih banyak dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail
2.3 Model pembelajaran
Menurut akhmad sudrajat model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990 dalam akhmad sudrajat) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Model pembelajaran, dipandang paling punya peran strategis dalam upaya mendongkrak keberhasilan proses belajar mengajar. Karena ia bergerak dengan melihat kondisi kebutuhan siswa, sehingga guru diharapkan mampu menyampaikan materi dengan tepat tanpa mengakibatkan siswa mengalami kebosanan. Namun sebaliknya, siswa diharapkan dapat tertarik dan terus tertarik mengikuti pelajaran, dengan keingintahuan yang berkelanjutan.
Berbagai model pembelajaran yang telah dikembangkan secara intensif melalui berbagai penelitian, tujuannya untuk meningkatkan kerjasama akademik antar siswa, membentuk hubungan positif, mengembangkan rasa percaya diri, serta meningkatkan kemampuan akademik melalui aktivitas individu maupuh kelompok.
Terdapat model pembelajaran paling konvensional, yaitu tatap muka dan berpusat pada guru (teacher center) sampai dengan pembelajaran berpusat pada siswa (student center), pembelajaran jarak jauh (distance learning) yang diterapkan pada universitas terbuka dan berbagai program sertifikasi online juga terus menerus dikembangkan. Journal Teknodik.22,2007 dalam Admin 2008
Pengajaran ataupun pendidikan dapat tertanam secara baik pada diri siswa, bila guru yang bersangkutan mampu menyajikan secara menarik. Pengertian menarik disini, anak merasa nyaman menerima dan mudah memahami isi materi pelajaran yang disampaikan guru dalam proses belajar mengajar. Jangan berharap banyak anak akan mampu menyerap isi pembelajaran dengan baik, jika dalam pembelajaran sudah terselimuti rasa takut berlebihan pada guru yang mengajarnya. Penciptaan suasana yang menyenangkan anak, merupakan langkah awal guru dalam melaksanakan pembelajaran yang baik.
Setelah suasana tercipta dengan penuh keakraban dan menyenangkan, guru dapat menyajikan model pembelajaran yang merangsang anak untuk kreatif. Ambil contoh dengan pendekatan problem solving pada mata pelajaran sosial dan model kerja kelompok pada mata pelajaran eksakta. Kenapa selama ini eksakta dianggap menakutkan siswa ? Selain materi ajarnya sulit, guru belum mampu menciptakan model-model pembelajaran yang menarik sehingga siswa belum melaksanakan, sudah ketakutan terlebih dahulu.
Bagi guru dapat menerapkan model pendekatan pribadi secara akrab dengan siswa, serta memberi motivasi. nak jangan dibuat takut untuk mencoba permainan sesuai dengan kemampuannya. Motivasi sangat besar pengaruhnya pada pribadi anak untuk mau melaksanakan dengan penuh kepercayaan.
Model pembelajaran yang menarik cukup banyak, di antaranya permainan kartu soal, diskusi interaktif, debat dsb. Bila guru ilmu sosial ingin menampilkan model debat, pertama kali yang harus ditempuh membuat perencanaan tema apa yang kiranya mengundang pro kontra siswa dalam menanggapi. Tema dan tatacaranya telah dipahami terlebih dahulu oleh guru. Sewaktu masuk kelas guru dapat menjelaskan pada siswa pentingnya menggali informasi dengan debat serta menunjukkan tatacara debat secara sehat. Bila hal ini telah dipahami dan disepakati seluruh siswa, guru dan siswa dapat membagi kelompok-kelompok tim debat beserta juru bicara dan pendampingnya. Utusan kelompok maju ke depan kelas berhadapan dengan kelompok lain dan siswa lainnya sebagai pendukung.
Untuk tahap awal, guru dapat berperan sebagai moderator jalannya debat. Idealnya aktivitas semuanya dijalankan siswa, namun untuk pertamakali guru dapat memberi contoh sebagai moderator yang baik. Kelompok satu dapat ditunjuk sebagai tim affirmative (pro) dan kelompok lain sebagai tim negatif (kontra). Dalam waktu yang telah dise-pakati, tim pro berganti menjadi tim kontra dalam permasalahan yang sama. Harapannya siswa akan memahami permasalahan secara luas baik dari sisi setuju maupun tidak setuju.
2.4 Konsistensi
Onsistensi dalam ilmu logika adalah teori konsistensi merupakan sebuah sematik dengan sematik yang lainnya tidak mengandung kontradiksi. Tidak adanya kontradiksi dapat diartikan baik dalam hal semantik atau berhubung dgn sintaksis. Definisi semantik yang menyatakan bahwa sebuah teori yang konsisten jika ia memiliki model; ini digunakan dalam arti logika tradisional Aristoteles walaupun dalam logika matematika kontemporer terdapat istilah satisfiable yang digunakan. Berhubungan dgn pengertian sintaksis yang menyatakan bahwa sebuah teori yang konsisten jika tidak terdpat rumus P seperti yang kedua P dan penyangkalan adalah pembuktian dari axioma dari teori yang terkait di bawah sistem deduktif. Pengertian Konsistens menurut KBBI adalah tetap (tidak berubah-ubah); taat asas; ajek; 2 selaras; sesuai: perbuatan hendaknya–dng ucapan (Panji Prabowo 2008)
2.5 Hasil belajar
Menurut Nana Sudjana hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Sedangkan S. Nasution berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar. Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai materi atau belum. Penilaian merupakan upaya sistematis yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukan untuk menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Cullen, 2003 dalam Noor Latifah 2008).
Hasil belajar dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian (formatif), nilai ulangan tengah semester (sub formatif) dan nilai ulangan semester (sumatif). Dalam penelitian tindakan kelas ini, yang dimaksud hasil belajar siswa adalah hasil nilai ulangan harian yang diperoleh siswa dalam mata pelajaran IPA. Ulangan harian dilakukan setiap selesai proses pembelajaran dalam satuan bahasan atau kompetensi tertentu. Ulangan harian ini terdiri dari seperangkat soal yang harus dijawab para peserta didik, dan tugas-tugas terstruktur yang berkaitan dengan konsep yang sedang dibahas. Ulangan harian minimal dilakukan tiga kali dalam setiap semester. Tujuan ulangan harian untuk memperbaiki modul dan program pembelajaran serta sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan nilai bagi para peserta didik.
Nilai Ujian Akhir Nasional, hingga saat ini masih menjadi tolok ukur paling ampuh melihat tingkat keberhasilan belajar siswa, juga menjadi tolok ukur tingkat kesuksesan guru mengajar. Kelulusan pun bertumpu pada nilai ini, meskipun belakangan banyak guru yang protes agar kelulusan siswa tidak ditentukan dari nilai Ujian Akhir Nasional.
Sebagai ekspresi melihat nilai yang didapat siswa pada Ujian Nasional maupun nilai Ujian Akhir Sekolah, yang seringkali muncul adalah ketidakpuasan. Baik dirasakan oleh siswa itu sendiri, orang tua siswa, guru bahkan segenap keluarga besar sekolah. Lebih-lebih jika banyak siswa yang mendapat nilai rendah dan berujung pada ketidaklulusan.
Setidak-tidaknya ada tiga hal yang mampu memicu tidak suksesnya kegiatan belajar mengajar yang berujung pada hasil nilai yang rendah. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu melaju lebih dahulu daripada proses pengajaran dan pembelajaran sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak cocok/pas dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian baru dari berbagai bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma, falsafah, dan metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pembelajaran menuntut diupayakannya pembaharuan paradigma, falsafah, dan metodologi pembelajaran
Posisi guru dalam pembelajaran di kelas tidak sekadar pengajar tetapi juga sebagai pendidik. Sebagai pengajar guru berkewajiban menyampaikan pemaham-an ilmu pengetahuan kepada anak sesuai dengan bidangnya masing-masing. Adapun peran sebagai pendidik, guru harus mampu menanamkan nilai-nilai moral baik pada anak, sehingga anak dapat menghayati dengan benar serta mau melaksanakan dengan penuh kesadaran.
Peran sebagai pengajar lebih mudah dibanding dengan peran sebagai pendidik. Selama ini mayoritas guru baru memainkan peran sebagai pengajar. Betapa sedihnya kaum guru bila belum mampu menuntaskan semua isi materi pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum. Guru hanya berkonsentrasi seputar kurikulum dan melupakan perannya sebagai pendidik. Hal ini sangat dimaklumi, mengingat masyarakat dan sekolah baru mau memotret keberhasilan guru hanya berdasar pencapaian nilai dalam ujian saja. Sehebat apapun guru dalam mengajar tanpa mampu meraih nilai maksimal, lebih-lebih nilai ujian nasional guru yang bersangkutan akan mendapat label tidak mampu dan tidak berhasil.
Akibat dari penilaian yang demikian sangat dimaklumi bila guru seluruh negeri tercinta ini hanya bercokol pada aspek pengajaran dan mengesampingkan peran tugas sebagai pendidik. Fakta ini sungguh memprihatin-kan. Idealnya peran kedua-duanya dapat dilaksanakan dengan baik dan anak memiliki bekal hidup secara komplit. Jangan kaget bila sampai saat ini banyak anak yang pandai/cerdas, namun kurang memiliki etika, sopan santun atau unggah-ungguh dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini bukan semata-mata kesalahan anak, tetapi secara umum dunia pendidikan harus mau ikut bertanggungjawab. Tanggungjawab pendidikan memang tidak hanya pada sekolah saja, orangtua dan masyarakat justru sangat dominan mewarnai kepribadian anak. Meskipun demikian, bila sekolah mampu berbuat yang terbaik, kenapa tidak dilaksanakan secara maksimal.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas XI SMA Negeri kota jambi pada semester ganjil tahun ajaran 2009/2010 pada tanggal 02 Agusstus 2010.
3.2 Rancangan penelitian
Berdasarkan masalah yang akan diteliti maka jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode analitik. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang mengguanakan observasi, wawancara atau angket mengenai keadaan sekarang ini, mengenai subjek yang akan kita teliti. ( Ruseffendi,E.T. 1994: 30)
Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006:72).
Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung.
Furchan (2004:447) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan. Lebih lanjut dijelaskan, dalam penelitian deskriptif tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis sebagaimana yang terdapat pada penelitian eksperiman.
Adapun jenis dari penelitian deskriptif pada penelitian ini adalah daskriptif Analitik. Dimana studi jenis ini merupakan studi pengumpulan data yang relatif terbatas dari kasus-kasus yang relatif kecil jumlahnya. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan informasi tentang individu. Berdasarkan ruang lingkupnya (sensus atau survai sampel) dan subyeknya (hal nyata atau tidak nyata), sensus dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu: sensus tentang hal-hal yang nyata, sensus tentang hal-hal yang tidak nyata, analitik sampel tentang hal-hal yang nyata, dan analitik sampel tentang hal-hal yang tidak nyata.
3.3 Populasi Dan Sample
3.3.1 populasi
Populasi adalah keseluruahan objek penelitian (Arikunto. 2005). Dalam penelitian survey, populasi adalah kelompok untuk mana para peneliti ingin melakukan generalisasi; yaitu, kelompok untuk mana hasil penelitian akan diterapkan atau diberlakukan dalam penelitian ini, target populasi kami adalah semua guru bidang studi biologi di kelas XI SMA Negeri kota jambi tahun ajaran 2009/20010l dari semua lulusan program sarjana.
3.3.2 Sampel
Sample adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto. 2005). Sample harus representative artinya segala karasteristik populasi harus tercermin dalam sample yang akan diambil. Sampling merupakan persoalan metodologikal yang krusial dalam penelitian survey. Karena biasanya tidak mungkin melakukan survey terhadap seluruh angota populasi, maka para peneliti biasanya memilih sebuah sub kelompok (sampel) dari populasi tersebut. Prinsip pokok dalam memahami tentang pengambilan sampel (sampling) adalah bahwa bagaimana cara sampel tersebut dipilih mempengaruhi kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian. Sampel yang dipilih untuk penelitian harus serupa dengan populasinya, karena hasil atau kesimpulan penelitian yang diambil dari sampel akan diberlakukan/digeneralisasikan kepada populasinya.
Untuk penelitian ini teknik pengambilan sample yang digunakan adalah teknik random sederhana yaitu dengan cara memberi nomor semua anggota populasi, dalam hal ini semua guru bidang studi biologi di kelas XI SMA Negeri kota jambi tahun ajaran 2009/20010l, kemudian membuat nomor- nomor pada kertas-kertas kecil, kertas kecil kemudian digulung, dimasukkan dalam tempat dan dilocok. Kita melakukan pengocokkan terus sampai memperoleh sejumlah kertas kecil bernomor sebanyak yang diperlukan. Dalam penelitian ini diperlukan sebanyak 30% sample dari populasi yang ada.
3.4 Instrument penelitian
Menurut suharsimi (1999 : 151) instrument penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data agar peneliti lebih mudah mendapatkan hasil dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap sistematis. Adapun insrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
3.4.1 Angket (kuisioner)
Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup dangan jawaban yang telah disediakan pada setiap item pertnyaanya.menurut faisal (1981:4) disebut angket tertutup, bila item pertanyaan pada angket disertai kemungkinan jawabanya, sehingga responden tinggal memilih jawaban yang dinilainya paling sesuai.
Dalam pembuatan angket tertutup ini penulis menggunakan sekala likert. Menurut sugiono (2005:107) sekala likert terdiri dari empat tingkatan yaitu selalu (sl), sering (sr), kadang-kadang(kd), tidak pernah (tp). Untuk kriteria penilaian peritem jawaban yang dijawab dijelaskan dalam tabel berikut:
No Tingkatan skala likert Skort jawaban
1 Selalu 1
2 Sering 2
3 Kadang-kadang 3
4 Tidak pernah 4
Sumber : Sugiono (2005:108)
Adpun lankah- langkah yang dilakukan dalam penyusunan angket adalah
A. Penyusunan indikator
Sebelum angket ini disusun, terlebih dahulu dibuat kisi-kisi angket yang meliputi indikator faktor internal guru biologi saat melakukan proses pembelajaran.
B. Penyusunan angket
Setelah kisi-kisi angket dibuat selanjutnya dilakukan penyusunan penrnyataan angket yang berhubungan dengan indikator.
C Ujicoba angket
Angket yang sudah disusun tersebut kemudian di ujicobakan. Menurut sugiono (2005:213) untuk menentukan valid atau tidak valid suatu butir dalam angket digugunakan rumus angka kasar.
3.4.2 Dokumentasi
Penelitian ini juga menggunakan alat pengumpulan data dengan dokumentasi. Dokumentasi yang diperlukan dalam penelitian ini ini dokumentasi proses pemebelajaran biologi di kelas XI SMA Negeri kota jambi.
3.4.3 Observasi
Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap mengamati (observasi) yaitu:
1. Melakukan diskusi dengan guru biologi dan kepala Sekolah untuk rencana observasi
2. Melakukan pengamatan terhadap penerapan model pembelajaran yang dilakukan guru kelas XI SMA Negeri kota jambi
3. Mencatat setiap kegiatan dan perubahan yang terjadi saat penerapan model pembelajaran
4. Menganalisis temuan saat melakukan observasi dan pelaksanaan observasi
3.5 Pengumpulan data
3.5.1 Data penelitian
Dalam penelitian ini ada dua data yang digunakan, yang pertama adalah data tentang keterampilan guru biologi kelas XI SMA Negeri kota jambi dalam menerapkan model pembelajaran, dan yang kedua data tentang nilai ujian biologi siswa kelas XI SMA Negeri kota jambi.
3.5.2 Sumber data
Menurut suharsimi (1999:112) sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuisioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis atau lisan. Adapun responden penelitian ini adlah guru biologi kelas XI SMA Negeri kota jambi. Kemudian untuk data tentag hasil ujian, datanya berupa nilai ujian akhir biologi siswa.
3.6 Analisis data
Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan uji normalitas. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data angket penelitian terdistribusi normal. Dalam penelitian ini digunakan uju lilloefors. 

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad dan joko, 1997, Model Belajar Mengajar, Pustaka Setia Bandung
Ari kontoro S, 1993 Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta
Shertian, 2000, Konsep Dasar Dan Teknik Supervise Pendidikan Dalan Rangka Pengembangan Sumberdaya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta
Sudjana N, 2006, Penilaian Hasil Proses Belajar Mngajar, PT Rosdakarya, Bandung
Sudjana N, 1996, Metode Statistic, Tarsito Bandung
Sudijono A 2006, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta, PT Raja Grafido Persada
Silbermen M, 1996, Active Learning, Yapendia, Yogyakarya
Silbermen M, 2006, Active Learning, Nusa Media, Yogyakarya
»»  continue...

Evaluasi Ranah Afektif dan Psikomotor

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan berpikir merupakan ranah kognitif yang meliputi kemampuan menghapal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Kemampuan psikomotor, yaitu keterampilan yang berkaitan dengan gerak, menggunakan otot seperti lari, melompat, menari, melukis, berbicara, membongkar dan memasang peralatan, dan sebagainya. Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.

Masalah Ranah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang. Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor. Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan pendidik melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif perlu dinilai. Oleh karena itu perlu dikembangkan acuan pengembangan perangkat penilaian ranah afektif serta penafsiran hasil pengukurannya.

Pasal 25 (4) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ini berarti bahwa pembelajaran dan penilaian harus mengembangkan kompetensi peserta didik yang berhubungan dengan ranah afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotor (keterampilan).

Pada umumnya penilaian yang dilakukan oleh pendidik lebih menekankan pada penilaian ranah kognitif. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena pendidik kurang memahami penilaian ranah afektif dan psikomotor. Oleh karena itu perlu adanya acuan untuk mengembangkan perangkat penilaian psikomotor.

2. Tujuan

Buku pengembangan perangkat penilaian afektif ini disusun agar pendidik:

1. memiliki kesamaan pemahaman mengenai ranah afektif dan cara penilaiannya
2. mampu mengembangkan perangkat penilaian afektif

Pengembangan perangkat penilaian psikomotor ini disusun dengan tujuan agar guru:

1. memiliki kesamaan pemahaman mengenai penilaian psikomotor;
2. mampu mengembangkan perangkat penilaian psikomotor.

C. Ruang Lingkup

Buku ini berisi tentang hakikat penilaian afektif dan pengembangan perangkat penilaian afektif.

Pengembangan perangkat penilaian psikomotor ini membahas tentang penilaian psikomotor, pengembangan instrumen penilaian psikomotor dan pedoman penskorannya, serta pelaporan hasil penilaian psikomotor.


BAB II

PEMBAHASAN

Evaluasi ranah afektif

Hingga dewasa ini, ranah afektif merupakan kawasan pendidikan yang masih sulit untuk digarap secara operasional. David Krathwohl beserta para koleganya yang adalah para pakar dengan reputasi akademik memadai pun mengeluh betapa sulit mengembangkan kawasan afektif terutama jika dibandingkan dengan kawasan kognitif. Kawasan afektif seringkali tumpang tindih dengan kawasan kognitif dan psikomotorik. Teoretik kita bisa membedakannya, praktiknya tidak demikian.

Afek merupakan karakteristik atau unsur afektif yang diukur, ia bisa berupa minat, sikap, motivasi, konsep diri, nilai, apresiasi, dan sebagainya. Afek merupakan traits psikologik yang tidak dapat diamati secara langsung. Kita hanya dapat “memotretnya” melalui perilaku wujud, apakah perkataan atau perbuatan. Kemunculan perilaku ini bisa menunjukkan 3 kecenderungan atau “arah” (Anderson, 1981): positif, netral, atau negatif. Selain memiliki arah, afek juga memiliki “intensitas”, artinya perilaku yang dinyatakan dalam tujuan atau kompetensi afektif haruslah yang mempunyai kemungkinan tinggi (high probability behavior). Pengukuran afek harus pula menyediakan pernyataan “kondisi” dalam kompetensi atau tujuannya, yang menunjukkan terjadinya perilaku yaitu berupa sejumlah preferensi atau pilihan yang disediakan bagi siswa. Siswa bebas memilih. Juga mengandung pernyataan “kriteria”, apakah kriteria yang terkait dengan jumlah subjek atau jumlah kegiatan/perilaku.

Struktur ranah afektif sebagaimana dikembangkan Krathwohl et al (1964) cukup rumit. Artinya struktur afektif ini unsur-unsurnya cukup kompleks.

Tidak semua karakteristik afektif harus dievaluasi di sekolah. Beberapa karakteristik afektif yang perlu diperhatikan (diukur dan dinilai) terkait dengan mata pelajaran PAI di sekolah adalah sikap, minat, konsep diri, dan nilai (Dikdasmen, 2003). Sikap berhubungan dengan intensitas perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek psikologik (misal kegiatan pembelajaran, atau mata pelajaran). Minat berhubungan dengan keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek psikologik, atau pilihan terhadap suatu kegiatan. Konsep diri berhubungan dengan pernyataan sendiri tentang keadaan diri sendiri, tentang kemampuan diri terkait objek psikologiknya. Nilai berhubungan dengan keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek atau kegiatan. Teknik pengukuran afektif dapat dilakukan dengan berbagai ragam misal: (1) skala bertingkat (rating scale; suatu nilai yang berbentuk angka terhadap suatu hasil pertimbangan; (2) angket (questionaire; sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh siswa); (3) swalapor (berupa sejumlah pernyataan yang menggambarkan respon diri terhadap sesuatu); (4) wawancara (interview; tanya jawab atau dialog untuk menggali informasi terkait dengan afek tertentu); (5) inventori bisa disebut juga sebagai interviu tertulis. Dilihat dari banyaknya jajaran kalimat yang isinya hanya perlu di dijawab dengan tanda check, inventori dapat disebut checklist (menandai), daftar atau inventarisasi pribadi, dan lain-lain alat atau teknik nontes.

Masalahnya adalah, bagaimana mengembangkan instrumen pengukuran afektif yang bermutu sebagai dasar penilaian afektif yang bermutu pula sehingga evaluasi efektif dapat berfungsi sebagai salah satu alat penjamin mutu pendidikan di sekolah sekaligus sebagai alat penjamin mutu guru. Penilaian afektif berguna antara lain untuk bahan pembinaan bagi siswa dalam usaha meningkatkan penguasaan kompetensinya dan masukan untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran.

Secara umum, pengembangan alat evaluasi atau instrumen afektif menuntut beberapa langkah: membuat definisi konseptual, membuat definisi operasional, menentukan metode pengukuran atau skala pengukuran, analisis instrumen. Langkah-langkah ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

(1) membuat definisi konseptual, dalam hal ini kita perlu memahami konstrak (construct) teoretik;

(2) membuat definisi operasional, di dalamnya kita menentukan domain atau indikator, serta menentukan objek psikologiknya, untuk kemudian dibuat kisi-kisi, serta membuat butir-butir pernyataan;

(3) menentukan metode pengukuran atau penskalaan, untuk mengukur sikap misalnya ada 3 metode utama yaitu : judgment method, response method, kombinasi kedua metode yakni judgment and response methods;

(4) analisis instrumen, hal ini dilakukan setelah kita melakukan ujicoba pengukuran, hasilnya kemudian dianalisis baik per butir maupun keseluruhan butir.

Sementara Sutrisno Hadi (1991), secara lebih sederhana menjelaskan 3 langkah pokok dalam menyusun instrumen: (1) mendefinisikan konstrak; (2) menyidik faktor (identifikasi faktor atau dimensi); (3) menyusun butir-butir pernyataan. Apabila ketiga langkah itu telah dilakukan, selanjutnya dilakukan ujicoba atau pelaksanaan pengukuran itu sendiri, kemudian hasilnya diuji atau dianalisis: (1) uji keandalan antar rater (hanya jika konstrak yang diukur dikerjakan melalui rating atau penilaian panelis); (2) uji kesahihan butir; (3) uji keandalan butir; (4) uji kesahihan faktor.

Secara rinci, dalam buku Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran PAI (2003) dijelaskan, terdapat 8 langkah dalam membuat instrumen sikap dan minat:

(1) memilih ranah (karakteristik) afektif yang akan dinilai, misal minat siswa terhadap mata pelajaran PAI;

(2) menentukan indikator, misal indikator minat siswa terhadap mapel PAI meliputi kehadiran di kelas, banyak bertanya, mengumpulkan tugas tepat waktu;

(3) memilih tipe skala yang digunakan (metode dan tingkat skala pengukuran);

(4) menelaah instrumen dengan teman sejawat (validasi, judgment);

(5) memperbaiki instrumen;

(6) menyiapkan inventori laporan diri;

(7) menentukan skor inventori; dan membuat hasil analisis inventori. Catatan; mestinya sebelum langkah keempat dilakukan pembuatan butir-butir intrumen.

Selanjutnya dijelaskan, sebelum instrumen digunakan perlu dianalisis. Ada 2 model analisis instrumen:

(1) analisis kualitatif (analisis non statistik, validasi isi instrumen);

(2) analisis kuantitatif, analisis statistik setelah dilakukan terlebih dahulu ujicoba. Tujuan analisis ini untuk mengetahui karakteristik (butir-butir) instrumen. Kita bisa menggunakan jasa program (software) komputer, dengan Anabut SPS, dengan MicroCat atau Iteman, atau dengan program lain.

Untuk menghasilkan instrumen yang baik, analisis instrumen hendaknya dilakukan secara kualitatif atau validasi non statistik (content validity), dan analisis kuantitatif (analisis butir, analisis reliabilitas dan validitas terutama construct validity).

Evaluasi ranah psikomotor

Istilah psychomotor, psikomotor terkait dengan kata motor, sensory-motor, atau perceptual-motor. Ranah psikomotor erat kaitannya dengan kerja otot yang menjadi penggerak tubuh dan bagian-bagiannya, mulai dari gerak yang paling sederhana seperti gerakan-gerakan dalam shalat sampai dengan gerakan-gerakan yang kompleks seperti gerakan-gerakan dalam praktik manasik ibadah haji. Ada beda makna antara skills (keterampilan) dan abilities (kemampuan). Keterampilan lebih terkait dengan psikomotor, sedangkan kemampuan terkait dengan kognitif selain pikomotor itu sendiri.

Taksonomi dalam ranah psikomotor dirumuskan oleh Anita J. Harrow (1976). Menurutnya, ada 6 tingkat klasifikasi dalam ranah psikomotor yaitu :

(1) Reflex Movements (gerakan refleks), yakni respons gerakan yang tak disadari yang dimiliki individu sejak lahir, mencakup : refleks segmental, refleks intersegmental, dan refleks suprasegmental. Ketiga refleks ini terkait dengan gerakan-gerakan yang dikoordinasikan oleh otak dan bagian-bagian sumsum tulang belakang.

(2) Basic-Fundamental Movements (basik gerakan dasar), yaitu gerakan-gerakan yang menuntut kepada keterampilan yang kompleks sifatnya, meliputi : gerakan lokomotor (gerakan yang mendahului kemampuan berjalan seperti tengkurap, merangkak, memanjat); gerakan nonlokomotor (gerakan dinamik dalam suatu ruangan yang bertumpu pada suatu sumbu tertentu); gerakan manipulatif (gerakan yang terkoordinasikan seperti gerakan dalam ibadah shalat).

(3) Perseptual Abilities (kombinasi dari kemampuan kognitif dan gerakan) meliputi : diskriminasi kinestetik (menyadari akan gerakan tubuh seseorang)

- kesadaran bodi (menyadari gerakan pada dua sisi tubuh, satu sisi tubuh, keseimbangan atau keberatsebelahan);

- imej bodi (perasaan adanya gerakan yang terkait dengan badannya sendiri);

- hubungan bodi dengan lingkungan sekitar (arah dan kesadaran badan kaitannya dengan lingkungan ruang sekitar);

diskriminasi visual :

- kemampuan membedakan bentuk dan bagian

- kemampuan mengikuti objek

- mengingat pengalaman visual

- membedakan figur yang dominan di antara latar belakang yang kabur

- konsistenssi, pengenalan konsep viual;

(4) Physical Abilities (kemampuan yang diperlukan untuk mengembangkan gerakan-gerakan keterampilan tingkat tinggi, meliputi ketahanan, kekuatan, kellenturan, kecerdasan otak (agility) atau kemampuan untuk bergerak cepat.

(5) Skilled Movements (gerakan yang memerlukan belajar) misal keterampilan menakar atau menimbang beras zakat fitrah, meliputi keterampilan adaptasi terkait dengan basik gerakan dasar; keterampilan adaptasi kombinasi misal menggunakan peralatan tertentu; keterampilan adaptasi kompleks seperti menguasai mekanime seluruh tubuh dalam gerakan-gerakan shalat;

(6) Non-Discursive Communication (kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan gerakan), meliputi : gerakan ekspresif; gerakan interpretif seperti gerakan dalam seni dan kreatif (improvisasi).

Sementara taxonomi psikomotor versi Simpson mencakup 7 kategori : (1) Perception (persepsi) mencakup kemampuan mengadakan diskriminasi yang tepat antara dua atau lebih perangsang menurut ciri-ciri fisiknya; (2) Set (kesiapan) yakni menempatkan diri dalam keadaan akan memulai suatu gerakan; (3) Guided Response (gerakan terbimbing) yaitu kemampuan untuk melakukan serangkaian gerak sesuai contoh; (4) Mechanical Response (gerakan terbiasa) berupa kemampuan melakukan gerakan dengan lancar karena latihan cukup; (5) Compex Response (gerakan kompleks) mencakup kemampuan melaksanakan keterampilan yang meliputi beberapa komponen dengan lancar, tepat, urut, dan efisien; (6) Adjusment (penyeuaian pola gerakan) yaitu kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerakan seuai kondisi yang dihadapi; (7) Creativity (kreativitas) yang berupa kemampuan untuk menciptakan pola gerakan baru berdasarkan inisiatif dan prakarsa sendiri.

Pengukuran karakteristik (gerak) dalam ranah psikomotor dilakukan terhadap proses maupun hasil belajar yang berupa tampilan perilaku atau kinerja. Dalam hal ini kita bisa menggunakan kriteria atau prinsip-prinsip : kecermatan, inderawi, kreatif, efektif. Menurut Antony J. Nitko (1994) untuk mengukur gerak motorik ada dua pendekatan: (1) pengamatan dan pengukuran pada saat proses berlangsung; (2) pengamatan dan pengukuran pada hasil dari gerakan motorik. Pendekatan pengukuran proses memerlukan kecermatan dan konsentrasi serta waktu yang relatif lama. Sementara pengukuran dengan pendekatan hasil relatif lebih mudah mengamatinya. Pengukuran karakteristik psikomotor yang baik adalah menggunakan dua pendekatan tersebut.

Pengukuran karakteristik psikomotor dapat menggunakan beraneka model instrumen, misal: (1) Checklist (menandai); (2) Identification Test (tes identifikasi; (3) Ranking (urutan); (4) Numerical Scales (skala angka); (5) Graphic Rating Scales (skala rating grafik). Kesemua model ini menggunakan pendekatan observasi (pengamatan). Pengamatan terhadap karakteristik psikomotor dilakukan dalam upaya untuk menemukan kesesuaian teori (materi belajar yang pernah dipelajari) dan tampilan atau kinerja yang dapat ditunjukkan oleh siswa.

Guru yang melakukan pengukuran karakteristik psikomotor siswa dengan menggunakan tes tindakan perlu memahami 4 hal : kecepatan, kecermatan, gerak dan waktu, serta ketahanan dan kemampuan fisik. Keempat hal ini masing-masing dapat dijabarkan ke dalam 4 jenis tes yaitu : tes kecepatan, tes kecermatan, tes gerak dan waktu, serta tes ketahanan dan kemampuan fisik.

Pengukuran karakteristik psikomotor dengan menggunakan tes tindakan perlu ditempuh dengan serangkaian langkah sebagai berikut : (1) identifikasi gerak motorik yang dikehendaki berdasarkan kompetensi dasar yang relevan, untuk hal ini perlu dibuat kisi-kisi; (2) tentukan apakah proses atau hasil yang hendak diukur; (3) membuat butir-butir tes beserta kunci jawaban (poin-poin atau rambu-rambu jawaban); (4) tentukan skala pengukurannya, cara penskorannya; (5) lakukan validasi isi tes; (6) revisi berdasarkan hasil validasi; (7) sebelum digunakan, sebaiknya diujicoba kemudian dianalisis; (8) revisi berdasar hasil ujicoba dan analisis; (9) hasil tes siap digunakan.

Penilaian berbasis Kelas (PBK) dalam Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK mengisyaratkan bahwa untuk menilai ranah psikomotor digunakan penilaian unjuk kerja/kinerja (performance), atau jenis lain yaitu penilaian proyek, portofolio, dan penilaian produk. Penilaian unjuk kerja dapat dilakukan dengan pengamatan. Untuk ini guru perlu menyiapkan lembar pengamatan secara baik. Lembar pengamatan yang baik setidaknya mencakup : (1) kemampuan atau karakteristik psikomotor apa yang dinilai; (2) indikator-indikator pada setiap aspek kemampuannya jelas; (3) masing-masing indikator memiliki deskriptor (dengan menggunakan skala bertingkat) yang jelas; (4) serta penilaian atau penskoran akhir harus jelas pula. Lembar pengamatan yang baik perlu dilakukan validasi isi, ujicoba dan analisis (konkordansi antar rater, reliabilitas, dan validitas).

Pemilihan dan penggunaan jenis-jenis penilaian psikomotor tergantung pada kebutuhan. Yang terpenting, apapun jenis penilaian (pengukuran) yang digunakan, dalam perspektif PBK, dan proses penilaian perlu mendasarkan pemahaman pada tata urut rumusan yang telah digariskan dalam pengembangan silabus dan sistem penilaian, yaitu dimulai dari identifikasi, standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok dan uraiannnya, pengalaman belajar, indikator, dan penilaian itu sendiri. Dengan demikian logika penilaiannya dapat ditelusuri dengan jelas
BAB III
PENUTUP

Bahwa paparan di atas sifatnya konseptual dan lebih berupa pengantar. Audiens (GPAI) diharapkan melakukan pemahaman dan pencermatan lebih jauh melalui daftar referensi yang penulis sertakan berikut. Agar para GPAI benar-benar kompeten dalam melakukan penilaian non kognitif, penulis merekomendasikan : (1) manfaatkan KKG dan MGMP sebagai wadah peningkatan kompetensi penilaian terutama penilaian non kognitif; (2) banyaklah melakukan latihan mengembangkan instrumen nonkognitif secara berkelompok; (3) untuk keperluan itu, sisihkan waktu misalnya dua minggu sekali.

Hasil belajar ranah kognitif, psikomotor, dan afektif tidak dijumlahkan, karena dimensi yang diukur berbeda. Masing-masing dilaporkan sendiri-sendiri dan memiliki makna yang sama penting. Ada peserta didik yang memiliki kemampuan kognitif tinggi, kemampuan psikomotor cukup, dan memiliki minat belajar yang cukup. Namun ada peserta didik lain yang memiliki kemampuan kognitif cukup, kemampuan psikomotor tinggi. Bila skor kemampuan kedua peserta didik ini dijumlahkan, bisa terjadi skornya sama, sehingga kemampuan kedua orang ini tampak sama walau sebenarnya karakteristik kemampuan mereka berbeda. Selain itu, ada informasi penting yang hilang, yaitu karakteristik spesifik kemampuan masing-masing individu.

Di dunia ini ada orang yang kemampuan berpikirnya tinggi, tetapi kemampuan psikomotornya rendah. Agar sukses, orang ini harus bekerja pada bidang pekerjaan yang membutuhkan kemampuan berpikir tinggi dan tidak dituntut harus melakukan kegiatan yang membutuhkan kemampuan psikomotor yang tinggi. Oleh karena itu, laporan hasil belajar harus dinyatakan dalam tiga ranah tersebut. Laporan hasil belajar peserta didik untuk setiap akhir semester berupa rapor yang disampaikan kepada orang tua peserta didik. Untuk meningkatkan akuntabilitas satuan pendidikan, hasil belajar peserta didik dilaporkan kepada dinas pendidikan, dan sebaiknya juga dilaporkan ke masyarakat. Laporan ini dapat berupa laporan perkembangan prestasi akademik sekolah yang ditempelkan di tempat pengumuman sekolah.

Cukup banyak ranah afektif yang penting untuk dinilai. Namun yang perlu diperhatikan adalah kemampuan pendidik untuk melakukan penilaian. Untuk itu pada tahap awal dicari komponen afektif yang bisa dinilai oleh pendidik dan pada tahun berikutnya bisa ditambah ranah afektif lain untuk dinilai.

Referensi

Anderson, L.W. (1980). Assessing affective characteristics in the schools. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Arikunto, Suharsimi. 1989). Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Cet. V. Jakarta: Bina Aksara.

Azwar, Saifuddin. (1988). Sikap manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Liberty.

Bloom, Bejamin S. , et al. (Editor) (1974). Taxonomy of educational objectives handbook I cognitive domain. Eighteenth Printing. New York: David McKay Company, Inc.

Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004 standar kompetensi mata pelajaran pendidikan agama Islam sekolah dasar dan ibtidaiyah. Jakarta: Puskur, Balitbang Depdiknas.

Dikdasmen, Diknas. (2003). Modul pembinaan profesi guru. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SLTP.

---------------------. (2003). Standar kompetensi guru sekolah dasar. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan.

---------------------. (2003). Kompeteni guru sekolah lanjutan tingkat pertama (bahan rujukan pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi). Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

Dikmenum Diknas. (2003). Kurikulum 2004 SMA pedoman khuus pengembangan silabus dan penilaian mata pelajaran pendidikan agama Islam, Buku 7.1.Jakarta.

Ditjen Dikdasmen, Depdikbud. (1999/2000). Silabi dan deskripsi program penataran guru sekolah dasar. Jakarta: Bagian Proyek Pengendalian Lembaga Penataran.

Fernandes, H.J.X. (1983). Affective domain assessment in perspective. Jakarta: Office of Educational and Cultural Research and Development Ministry of Education and Culture.

------------------. (1984). Testing and measurement. Jakarta: Office of Educational and Cultural Research and Development Ministry of Education and Culture.

Gable, R.K. (1986). Instrument development in the affective domain. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.

Hadi, utrisno. (1991). Analisis butir untuk instrumen angket, tes, dan kala nilai denga basica. Yogyakarta: Andi Offset.

Harrow, Anita J. (1976). A taxonomy of the psychomotor domain a guide for developing behavioral objectives. New York: Longman.

HM., Ahmad Rohani. (2004). Pengelolaan pengajaran. Cet. II. Jakarta: Rineka Cipta.

Joesmana. (1988). Pengukuran dan evaluasi dalam pengajaran. Jakarta: Depdikbud.

Lee, B.N. and Merill, M.D. (1972). Writing complete affective objectives. California: Wardsworth Publishing Company, Inc.

Nitko, A.J. (1994). Educational assessment of students. New Jersey: Prentice Hall Englewood Cliffs.

Shaw, Marvin E. & Wright, Jack M. (1967). Scales for the meaurement of attitudes. New York: McGraw-Hill Book Company.

Suyanto. (19911). Elaborasi aspek afektif untuk kegiatan belajar mengajar. Artikel dalam Cakrawala Pendidikan No 2, Tahun X, juni 11991. Yogyakarta.

Suryanto. (2001). Aspek afektif hasil pembelajaran matematika. Paedagogia Jurnal penelitian Pendidikan Jilid 4 Nomor 1 Tahun 2001 FKIP UNS Surakarta

Zainul, Asmawi. (2004). Asesmen alternatif untuk mendukung belajar dan pembelajaran. Makalah Seminar Rekayasa Sistem Penilaian dalam rangka Meningkatkan Kuaalitas pendidikan. Tanggal 26-27 Maret 2004 Yogyakarta: HEPI.

Zuchdi, Darmiyati. (2000). Evaluasi belajar afektif. Makalah disajikan dalam Pelatihan Program Applied Approach (Rekonstruksi Mata Kuliah) Dosen UPN Veteran Yogyakarta.
»»  continue...

Korupsi

PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Abstrak
Jikalau orang mendengar istilah korupsi biasanya yang tergambar ialah adanya seorang pejabat tinggi yang rakus menggelapkan uang, mengumpulkan komisi atau menggunakan uang negara lainnya bagi kepentingan pribadi. Di Indonesia tindak pidana korupsi kian merajalela, dan karena itu pula rakyat menuntut pemerintah agar bersikap terbuka dan berupaya memberantas korupsi. Dengan kata lain perlu adanya serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya terkandung dalam khazanah perbincangan umum untuk menunjukkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pejabat-pejabat Negara. Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terus meningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara.
Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi terutama terhadap pengadilan koruptor kelas kakap dibanding koruptor kelas teri.
Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi, dan sinkronisasi telah dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga dapat menggeser kasta pemberantasan korupsi. Seandainya saja kita sadar, pemberantasan korupsi meski sudah pada tahun keenam perayaan hari antikorupsi ternyata masih jalan ditempat dan berkutat pada tingkat “kuantitas”. Keberadaan lembaga-lembaga yang mengurus korupsi belum memiliki dampak yang menakutkan bagi para koruptor, bahkan hal tersebut turut disempurnakan dengan pemihakan-pemihakan yang tidak jelas.
Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti Indonesia, hukuman yang setengah-setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga merupakan masalah besar, karena boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit penyakit birokrasi.



1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Kendala/hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ?
2. Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi di Indonesia ?


BAB II
ISI
2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).
Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal.
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.
2.2  Jenis-Jenis Korupsi
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).
Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193), mengemukakan ada tujuh jenis korupsi, yaitu :
1. Korupsi transaktif (transactive corruption)
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption)
Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya.

3. Korupsi defensif (defensive corruption)
Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).
4. Korupsi investif (investive corruption)
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang.

5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak-Saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.
Demikianlah, korupsi sebagai fenomena sosial, ekonomis, dan politis ternyata memiliki penampakan yang beraneka ragam. Namun meski berubah-ubah, dasar pijakannya adalah korupsi jenis transaktif dan pemerasan dengan menyalahgunakan wewenang.

2.3 Sebab-Akibat Korupsi
Di lingkungan masyarakat Asia, selain mekarnya kegiatan pemerintah yang dikelola oleh birokrasi, terdapat pula ciri spesifik dalam birokrasi itu sendiri yang menjadi penyebab meluasnya korupsi. Kebanyakan model birokrasi yang terdapat di Negara-Negara Asia termasuk Indonesia adalah birokrasi patrimonial. Adapun kelemahan yang melekat pada birokrasi seperti ini antara lain tidak mengenal perbedaan antara lingkup “pribadi” dan lingkup “resmi”. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakmampuan membedakan antara kewajiban perorangan dan kewajiban kemasyarakatan atau perbedaan antara sumber milik pribadi dan sumber milik pemerintah.
Selain itu, yang patut diperhatikan ialah korupsi yang bermula dari adanya konflik loyalitas diantara para pejabat publik. Pandangan-pandangan feodal yang masih mewarnai pola perilaku para birokrat di Indonesia mengakibatkan efek konflik loyalitas. Para birokrat kurang mampu mengidentifikasi kedudukannya sendiri sehingga sulit membedakan antara loyalitas terhadap keluarga, golongan, partai atau pemerintah.
Akibat yang paling nyata dari merajalelanya korupsi di tingkat teknis operasional adalah berkembangnya suasana yang penuh tipu-muslihat dalam setiap urusan administrasi. Seandainya saja kita meneliti secara cermat, banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi, seperti : munculnya pola-pola kejahatan terorganisasi, lambannya tingkat pelayanan karena pelayanan harus ditembus oleh uang sogok atau pengeruh personal, berbagai sektor pembangunan menjadi lumpuh karena alat kontrol untuk mengawasinya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Kelesuan juga menyelimuti dunia swasta karena mereka tidak lagi melihat pembagian sumberdaya masyarakat secara adil. Hal ini sejalan dengan pendapat Myrdal (1977 : 166-170), bahwa :
1. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan kurang tumbuhnya pasaran nasional.
2. Permasalahan masyarakat majemuk semakin dipertajam oleh korupsi dan bersamaan dengan itu kesatuan negara juga melemah. Juga karena turunnya martabat pemerintah, tendensi-tendensi itu turut membahayakan stabilitas politik.
3. Karena adanya kesenjangan diantara para pejabat untuk memancing suap dengan menyalahgunakan kekuasaannya, maka disiplin sosial menjadi kendur, dan efisiensi merosot.
Dengan demikian, akibat-akibat korupsi itu tidak hanya bisa ditelaah secara teoritis tetapi memang banyak dialami oleh masyarakat yang melemah oleh korupsi. Dan korupsi itu sendiri bisa menghancurkan keberanian orang untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moral yang tinggi. Bahkan kerusakan oleh korupsi yang sudah menjelma menjadi kerusakan pikiran, perasaan, mental dan akhlak dapat membuahkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk akal. Sehingga terjadilah ketidakadilan dan kesenjangan yang sangat besar.

2.4 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian di lapangan, ternyata hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam meredam korupsi antara lain adalah :
1. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.
2. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
3. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada check and balance.
4. Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
5. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan negara yang semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diemban.

2.5 Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya, dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menangkalnya, yakni :
1. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku.
2. Menciptakan kondisi birokrasi yang ramping struktur dan kaya fungsi. Penambahan/rekruitmen pegawai sesuai dengan kualifikasi tingkat kebutuhan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
3. Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis.
4. Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat ditutup.
5. Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
6. Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
7. Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan, diselewengkan atau dikorup.






BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya telah menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajdi “jalan tak ada ujung”, melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk mengatasi persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia.

»»  continue...